Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ETIKA KRISTEN: MAKNA DAN PENERAPAN HUKUM KE DUA DARI DEKALOG





MAKNA DAN PENERAPAN HUKUM KE DUA DARI DEKALOG
A.    Makna Hukum Kedua
            Hukum Taurat yang kedua terdapat  dalam Keluaran 20:4 “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi”.
            Pertama, janganlah memahami perintah ini secara harfiah semata. Sehingga dalam memahaminya akan ada terdapat suatu kesalahan dalam hal pemaknaan. Perlu di lakukan suatu study kata yang tepat untuk mengartikan kata tersebut. Dikatakan bahwa “Jangan membuat bagimu patung...”, secara harfiah patung merupakan hasil dari suatu karta seni atau kerajinan tangan manusia. Namun ketika menyimak kata “patung”, orang bisa beranggapan bahwa patung yang dimaksud adalah semua patung-patung yang dibuat manusia atau bahkan semua jenis kerajinan tangan manusia dianggap sebagai berhala. Dan sebagai konsekuensi, semua senirupawan dapat divonis sebagai pelanggar perintah Hukum kedua karena telah menghasilkan benda berhala.
            Hal yang menyebabkan manusia beranggapan bahwa patung adalah berhala karena mereka mempercayai bahwa di dalam patung terdapat suatu roh yang memberinya hidup. Dan roh itu adalah Iblis. Itulah alasan mengapa banyak orang salah dalam memahami arti dari hukum kedua.
            Hal sebenarnya yang di tekankan dalam Hukum kedua ini ialah bukan soal patungnya, melainkan adanya suatu penyembahan atau idolatri kepada patung atau tanpa patung[1]. Penyembahan berhala tanpa di sadari banyak dilakukan oleh orang. Suatu kesalahan besar apabila terjadi suatu penyembahan yang ditujukan kepada patung, yang notabene terbuat dari benda mati misal kayu atau batu dan yang menjadi pembuatnya adalah manusia sendiri. Bisa dikatakan juga ini adalah kebodohan dari manusia.
            Terjadinya suatu penyembahan berhala atau idolatri biasa di pakai oleh para nenek moyang, yang belum memiliki kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
            Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah perintah kedua tidak relevan lagi bagi kehidupan manusia di zaman modern ini? Jawabnya adalah, justru semakin beragam bentuk-bentuk dari pelanggaran hukum kedua tersebut. Adanya “materialisme” dengan manifestasinya, yaitu hedonisme, konsumerisme, dan pragmatisme yang merupakan rohnya zaman modern, tidak lain adalah penjelmaan kembali atau reinkarnasi dari roh penyembahan berhala[2].
            Inti dan hakikatnya sama persis, yaitu “mempertuhankan” sesuatu yang bukan Tuhan. Menukar Tuhan yang hidup dengan benda-benda mati. Dan menjadikan benda-benda mati itu titik tolak kehidupannya, seluruh isi kehidupannya, dan, segenap tujuan kehidupannya.
            Hal  tersebut diatas sangatlah berbahaya. Khususnya jika dilihat dari konteksnya, bahwa bangsa Israel ada dalam bahaya karena adanya penyembahan berhala tersebut. Inilah salah satu alasan mengapa Allah memberikan perintah ini kepada mereka. Pada awalnya bangsa Israel menjadi budak di Mesir. Bangsa Mesir adalah bangsa yang menyembah banyak dewa. Mereka menyembah matahari, bulan dan bintang. Mereka juga menyembah binatang-binatang seperti ular, kerbau, buaya, dan bahkan kumbang-kumbang[3]. Merupakan hal yang alamiah bagi manusia untuk menyembah karena Allah memang menciptakan manusia seperti itu. Tetapi, karena keterbatasan kita sebagai manusia, keinginan alamiah ini kadang-kadang berubah menjadi sesuatu yang buruk dan bukan sesuatu yang baik. Memang baik untuk menyembah jika menyembah kepada Allah dalam roh dan kebenaran. Ibadah yang palsu tidak pernah baik. Hal ini selalu menjauhkan manusia dari Tuhan dan bukan mendekat kepada-Nya. Umat Israel dalam bahaya jatuh dalam ibadah yang palsu. Karena tetangga-tetangga mereka menyembah berhala, hal itu menjadi semakin mudah bagi bangsa Israel untuk menyembah berhala. Oleh karena itu, Allah memberikan perintah kedua untuk kehidupan manusia ini sehingga manusia tidak lagi ragu-ragu bahwa Allah mengharapkan supaya mereka hanya menyembah Dia. Dia bahkan tidak ingin mereka menyembah dengan sebuah benda(berhala) untuk mewakili-Nya.
            Saat ini muncul suatu pertanyaan, “Mengapa Allah melarang manusia untuk membuat patung atau sesuatu yang mewakili Allah?” Ada dua alasan mengapa Allah mencela penyembahan berhala. Pertama adalah bahwa patung-patung itu merampas pengetahuan tentang Allah dari manusia[4]. Segala bentuk apapun yang mewakili Allah buatan manusia adalah salah. Hal-hal tersebut merendahkan dan menghina Allah. Yang tadinya Allah dikenal sebagai Allah yang Mahakuasa, Mahatinggi, Mahamulia, dan lain sebagainya telah menjadikan Allah rendah karena adanya penyimpangan dalam hal penyembahan. Hal-hal tersebut juga menipu dan membuat manusia menjadi jahat. Jika hal ini ditarik ke dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus mengatakan kepada orang-orang Athena, yang merupakan penyembah-penyembah berhala yang besar “ Allah...tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang... “Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia.” Kisah Para Rasul 17:24-25, 29.
            Dalam nats diatas sangat dijelaskan sekali bahwa keadaan yang ilahi tidak sama seperti ciptaan kesenian dan keahlian manusia. Perlu di ingat kembali bahwa semua alam semesta ini adalah cipataan Allah. Oleh karena itu, sebenarnya Allah berada dalam posisi sebagai Pencipta. Dan sudah selayaknya bahwa Pencipta layak untuk mendapat pujian, penyembahan atau apresiasi dari ciptaan-Nya (manusia). Perlu diingat lagi bahwa sang Pencipta selalu lebih besar dan berkuasa dari apa yang diciptakan-Nya. Ketika orang-orang menyembah berhala, bisa dilihat bahwa mereka pasti jatuh dalam dosa dan jalan-jalan yang jahat. Mereka menjadi jauh dari usaha mereka untuk melakukan yang terbaik dan mengambil jalan keluara yang mudah. Lebih mudah untuk menyebah berhala yang terbuat dari perak atau emas(terlihat) dari pada  berjuang untuk hidup kudus bagi Allah.
            Alasan yang lain mengapa Allah melarang penyembahan berhala adalah bahwa Allah hanya mempunyai satu bentuk yaitu diri-Nya sendiri dan bentuk itu kudus. Bentuk ini ada dalam pribadi Yesus Kristus[5]. “Ia adalah gambar Allah yang  tidak kelihatan.” Kolose 1:15. Kristus sendiri secara untuh dapat menyatakan Allah yang mulia. Tak ada orang lain di seluruh alam semesta yang berhak untuk mengatakan “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” Yohanes 14:9. Satu-satunya pernyataan kasih Allah yang sempurna adalah dalam sosok Yesus Kristus. Hanya dihadapan-Nya manusia dapat betul-betul menyembah Allah. Kristus tidak pernah menolak penyembahan.
            Pada dasarnya Allah itu roh. Sifat roh salah satunya adalah tidak kasat mata. Manusia lebih menyukai hal-hal yang konkret bukan abstrak. Bila hal ini dikaitkan dengan penyembahan berhala yang berwujud patung atau gambar, itu merupakan hal yang wajar karena di lihat dari kecenderungan manusia yang menyukai sesuatu yang konkret. Oleh karena itu manusia mempunyai suatu inisiatif untuk membuat gambaran atau suatu wujud berupa benda untuk membuat pikiran orang menjadi fokus terhadap apa yang disembahnya, karena terlihat. Karena jika dipikir secara rasio manusia, ketika manusia menyembah kepada sesuatu yang tidak terlihat mata, sungguh sangat sulit untuk memahami, menghayati, serta menjalin relasi atau komunikasi dengan sesuatu yang tidak kelihatan dan pada hakikatnya di terjelaskan. Sesuatu yang tidak bisa dilihat , adalah sesuatu yang tidak dikenal. Jadi ketika manusia berusaha untuk membuat sesuatu yang nyata, kelihatan, yang terasa, dan yang teraba, sebagai alat untuk memudahkan orang mengingat dan mendekat kepada Allah mereka.
            Namun, kemudian muncul suatu persoalan, yang pada mulanya tujuan dari membuat wujud yang disembah itu adalah baik yaitu untuk menjadikan manusia fokus terhadap penyembahan, namun betapa mudahnya benda-benda itu sedikit demi sedikit, tanpa disadari, tidak lagi menunjuk kepada Allah, tetapi menggantikan tempat dan fungsi Allah.
            Penyembahan berhala berasal dari hati manusia yang jahat. Berhala-berhala yang nampak merupakan ciptaan dari nafsu batiniah manusia. Orang mungkin mengatakan bahwa ada dua macam berhala yaitu berhala yang nampak (diluar manusia) dan tidak nampak (didalam hati manusia). Berhala-berhala yang nampak mungkin terbuat dari kayu, batu, perak, emas atau benda-benda yang lain. Allah menghendaki supaya manusia tidak membuat dan menyembah ilah-ilah seperti itu. Bentuk berhala yang lain adalah berhala-berhala dalam hati yang bersumber dari nafsu manusia. Mungkin itu berupa nafsu untuk mendapatkan kekuasaan atau uang, nafsu kedagingan, keinginan mata atau kesombongan hidup. Perlu lebih ditekankan lagi harus berhati-hati akan penyembahan terhadap roh-roh jahat dan kuasa kegelapan, termasuk di dalamnya adalah segala jenis sihir (okultisme). Allah juga menghendaki agar tidak menyembah dan melayani dewa-dewa yang memisahkan antara hubungan Allah dengan manusia. Ada sesuatu dalam manusia yang merupakan penyembah berhala yang perlu di selidiki.
            Hukum yang kedua membawa suatu peringatan yang menentang penyembahan berhala. Hukum itu memberitahu kita bahwa Allah adalah Allah yang cemburu. Hal ini berarti bahwa Allah tidak menghendaki manusia membagi kasihnya untuk-Nya dengan ilah-ilah yang lain. Allah menghendaki untuk menyembah dan melayani Dia saja. Allah melarang umat-Nya untuk membuat berhala apapun juga atau menyembahnya karena penyembahan berhala akan membelokkan hati umat-Nya ke ilah-ilah lain. Allah tidak menghendaki saingan bagi-Nya. Setiap orang yang menyembah berhala akan menderita. Hukum ini memerlukan perhatian pada kemurnian ibadah. Hukum ini juga mengingatkan bahwa persekutuan dengan Allah bersifat langsung. Setiap orang dapat datang kepada Allah melalui Yesus Kristus.
            Inilah makna dari penyembahan berhala, bahwa penyembahan berhala adalah hal yang tidak disukai Allah. Penyembahan berhala dapat merusak pengenalan akan Allah sendiri. Oleh sebab itu, Allah mempunyai inspirasi dari diri-Nya untuk memberikan hukum kedua kepada umat-Nya.

B.     Penerapan Hukum Kedua

            Dari pernyataan diatas bahwa penyembahan berhala adalah kekejian bagi Allah. Lalu timbullah pertanyaan-pertanyaan, bagaimana manusia dapat menerapkan hukum kedua ini dalam kehidupan sehari-hari? Mampukah manusia menerapkannya? Apa manfaat dari penerapan hukum kedua? Dan masih banyak lagi. Hukum yang diberikan Allah berguna untuk mengatur dan merupaka respons bangsa Israel terhadapa anugerah dan karya Allah yang adil. Menaati hukum berarti memelihara kebenaran dan keadilan yang merupakan pemberian Allah kepada Israel yang ditebus-Nya[6]. Dalam penerapannya, bangsa Israel memang benar bersungguh-sungguh untuk menerapkannya. Mereka menghafal dan merenungkan hukum siang dan malam. Bahkan mereka juga mengajarkan kepada anak-anak-Nya agar hukum ini tetap terpelihara. Namun pada kenyataannya pun bangsa Israel juga melanggar hukum ini. Jadi bisa dikatakan untuk menaati satu hukum memang sulit. Tetapi, hukum ini wajib untuk diterapkan di kehidupan manusia. Untuk merapakan hukum ini di perlukan suatu komitmen yang sungguh-sungguh. Di perlukan semangat yang gigih dan tentunya tuntunan dari Roh Kudus. Tanpa Roh Kudus yang memimpin, manusia tidak akan mampu. Jika konsekuensi melanggar hukum adalah menderita maka konsekuensi bila menaatinya akan mendapat berkat-berkat. Hidup manusia akan damai, akan beruntung, dan yang lebih utama adalah relasi antara Allah dengan manusia terjalin. Dalam penerapannya juga jangan hanya fokus kepada patung buatan manusia, namun kepada segala apa yang ada di dunia ini yang akan mendorong manusia untuk memberhalakan suatu benda. Misalnya untuk jaman sekarang ini adalah handphone, gadget, televisi. Oleh karena itu, sebagai umat Allah perlu berhikmat dalam menggunakan sesuatu, jangan sampai salah tujuan. Tetap satu tujuan yaitu untuk meninggikan dan menyembah kepada Allah Pencipta alam semesta.


                [1]Eka Darmaputera, Sepuluh Perintah Allah (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005), 38.
                [2]Ibid,. 40.
                [3]Ajar Tarigan, catatan, 11.
                [4]Ibid., 11.
                [5]Ibid., 12.
                [6] Dr.Christoper Wright, Hidup Sebagai Umat Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 146.


Posting Komentar untuk "ETIKA KRISTEN: MAKNA DAN PENERAPAN HUKUM KE DUA DARI DEKALOG"