Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PENGANTAR KITAB KEJADIAN

PENGANTAR KITAB KEJADIAN

A.      Judul Kitab Kejadian
Judul bahasa Ibrani dari kitab pertama Alkitab diambil dari kata pertama dari kitab tersebut, בראשׁית (Bere’sit,)  artinya “pada mulanya”. Judul bahasa Inggris untuk kitab pertama tersebut Genesis berasal dari Septuaginta (dari kata Yunani Geneseos, artinya “permulaan” atau “generasi-generasi”) karena menguraikan kejadian, atau awal mula, alam semesta, dan juga versi Vulgata Latin. Kitab Kejadian  menjadi kitab pertama dalam kanon PL, karena kitab ini memberikan dasar utama bagi Pentateukh maupun keseluruhan PL dan Alkitab. Dalam Kitab Kejadian dijelaskan asal mula dari alam semesta, manusia, umat Allah, dosa, hukuman, perjanjian dan juga rencana penebusan Allah bagi umat manusia. Oleh sebab itu tema-tema teologis dalam kitab-kitab lain hanya dapat dimengerti sepenuhnya setelah kitab ini untuk menjelaskan asal mula dan latar belakang dari tema-tema tersebut.
B.       Penulis Kitab Kejadian
Kepenulisan Pentateukh mengalami kontroversi dengan adanya Documentary Hypothesis. Teori tersebut tidak mengakui Musa sebagai penulis, namun Kejadian ditulis oleh banyak penulis dan kemudian dikumpulkan oleh beberapa orang redaktur . Menurut teori ini ada empat sumber dalam penulisan Kitab Kejadian:
a.         Sumber yang menggunakan nama “Yahwe” (Y).
·         Dikarang ± 900 SM.
·         Paling jelas ditemukan dalam Kej. 2:4b-31, memberikan corak pada keseluruhan kisah leluhur dalam iman (Kej. 12-50), dan Keluaran, terutama dalam kisah pengembaraan di padang gurun.
·         Allah disebut dengan nama Yahwe, dan kedekatan hubungan Yahwe dengan orang pilihannya digambarkan dengan anthropomorfisme.
b.        Sumber yang menggunakan nama “Elohim” (E).
·         Dikarang ± 750 SM.
·         Lahir di Kerajaan Utara.
·         Menekankan relasi khusus antara Allah dengan bangsa Israel, sehingga teologinya bersifat partikularisme.
·         Abraham dilukiskan sebagai seorang nabi (Kej. 20:7) dan Yakub (Israel) dilukiskan sebagai pejuang Allah (Kej. 32:23).
c.         Sumber yang khusus terdapat dalam Kitab Ulangan atau Deuteronomium (D).
·         Dikarang ± 620 SM.
·         Lahir di Yerusalem, pada masa Raja Yosia.
·         Sangat tertarik dengan tema pembaharuan dalam melakukan agama.
d.        Sumber yang dipelopori oleh imam-imam “Priester Codex” (P).
·         Dikarang ± 500 SM.
·         Lahir dari situasi pembuangan di Babilonia untuk melestarikan dan mengumpulkan tradisi keimaman.
·         Maksud sumber P adalah untuk mengingatkan bangsa Israel sebagai bangsa kudus Allah.
·         Sangat menekankan peranan kultus(tata upacara/liturgi).

Akibatnya jika teori-teori dokumen tersebut diterima:
1.        PL tidak bersifat wahyu Allah dan hanya kumpulan sastra.
2.        Pentateukh tidak mengandung sejarah yang saksama, misal Hukum Taurat (P) datang setelah para nabi; konsep Kemah Suci (P) datang setelah Bait Allah.
3.        Pentateukh tidak dikarang oleh Musa.
4.        Tuhan Yesus keliru tentang pengaran Pentateukh (Luk. 24:44; Yoh. 5:46-47), demikian juga para rasul (Kis. 7:37-38).
Kitab Kejadian tidak menyebut identitas penulisannya, dan kitab-kitab lain di Alkitab tidak secara jelas menyebutkan nama dari penulis kitab Kejadian. Secara tradisional dipercayai bahwa Musalah penulisnya. Hingga abad ke-19 para cendekiawan baik Kristen maupun Yahudi pada umumnya sependapat bahwa penulis Kitab Kejadian adalah Musa.
Bukti untuk kepenulisan Musa :
              a.     Bukti eksternal.
Bukti terutama terdiri atas kesaksian Alkitab. Pentateukh sendiri memuat sejumlah rujukan bahwa Musa telah menulis beberapa bagian besar di dalamnya (bd. Kel. 17:14; 24:4; 34:27; Bil. 33:1,2; Ul. 31:9). Kitab-kitab lain dalam PL juga menganggap Pentateukh berasal dari Musa. Rujukan yang paling penting dalam Yos. 1:7, “… bertindaklah  hati-hati sesuai dengan seluruh hukum (Taurat) yang telah diperintahkan kepadamu oleh hambaKu Musa,…” dari pernyataan ini jelas bahwa Taurat sudah diterima sebagai Firman Allah yang diwahyukan. Bukti tambahan diberikan melalui ungkapan dalam Im. 1:1 dan Bil. 1:1, “Tuhan berfirman kepada Musa”.
Banyak rujukan dalam PB juga menyinggung kepenulisan Musa, dan banyak yang merupakan kutipan langsung dari Kristus sendiri (Mrk. 12:26; Luk 16:29, 31; Yoh 5:46-47; 7:19-23; Kis 3:22; 26:22; Rm 10:5; 1 Kor 3:15. Orang Yahudi Palestina dan orang Yahudi diaspora sepakat tentang pokok tersebut, sebagaimana tersirat dalam Pentateukh versi Samaria, Talmud versi Palestina, Talmud versi Babilonia, Apokrif, dan karya tulisan Filo dan juga karya Yosefus. Yang mungkin merupakan petunjuk dipakainnya catatan-catatan dalam sejarah oleh Musa ketika ia menulis kitab ini. Terdapat 11 kali pemakaian kalimat “ demikianlah riwayat” atau ‘ inilah keturunan” yang artinya “ inilah sejarahnya” (Kej 2:4, 5:1; 6:9; 10:1; 11:10, 27; 25:12,  19; 39:1, 9; 37:2). 
             b.     Bukti internal.
Bukti ini terutama terdiri dari bukti yang ada di dalam Pentateukh. Terutama terdiri atas bukti yang ada di dalam  mengenai adat istiadat pada masa seribu tahun kedua, bentuk-bentuk sastra, dan bahasa yang diungkapkan atau digunakan dalam Pentateukh; dan kesatuan yang nyata dari kitab Kejadian. Penulisnya pasti tahu benar tentang padang gurun, mengenal Mesir dengan baik sekali, tahu benar nama-nama Mesir. Karena “Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya” (Kis. 7:22), maka bukanlah tidak masuk akal untuk mengganggap Musa memiliki kecakapan intelektual dan pendidikan untuk menjadi penulis utama kitab Kejadian. Penjelasan arkeologis mengenai pendidikan Mesir menyatakan bahwa Musa dibesarkan di istana kerajaan dan mendapatkan pendidikan formal dalam membaca dan menulis tulisan-tulisan hieroglif (cara penulisan dengan memakai gambar-gambar yang dipakai para imam Mesir Kuno) dan hieratik (cara penulisan heiroglif yang memakai gambar kursif/ miring dan bukan lagi gambar).

Pada dasarnya Kitab Kejadian ditulis oleh Musa sendiri atau oleh seorang jurutulis di bawah pengawasannya yang langsung. Apapun tambahan yang diberikan, itu ditambahkan oleh seorang jurutulis yang betul-betul diilhami oleh Roh Kudus (II Tim. 3:16).
C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Kitab Kejadian adalah:
1.      Sebagai prolog untuk seluruh Alkitab, karena kitab ini mengisahkan asal usul alam semesta, dunia fisik, asal mula kehidupan, kematian, dosa, dan bangsa Israel.
2.      Sebagai landasan hakiki bagi Pentateukh dan semua pernyataan Alkitab selanjutnya.
3.      Untuk memberikan umat perjanjiaanNya suatu pemahaman mendasar tentang diriNya.
4.      Untuk memberikan umat perjanjianNya suatu pemahaman tentang identitas mereka sehingga mempersiapkan mereka untuk peristiwa keluaran dan memasuki negeri Kanaan.
D.      Ruang Lingkup
Ruang lingkup kitab ini secara konsisten bergerak maju dan semakin spesifik. Seleksi teologi dari kitab ini adalah sesuai tujuan dari penulis untuk menyatakan sejarah dan prinsip dasar dari hubungan antara Allah dengan umat-Nya.
E.       Pokok-Pokok Teologi Dasar
Dari awal permulaan Kitab Kejadian telah menghadapkan pada kita Allah yang hidup dan berkepribadian. Penulis memperkenalkan Allah yang berdaulat kudus. Kekuasaan Allah yang agung diungkapkan dalam keindahan ciptaan dan pertimbangan Allah yang menakjubkan. Dalam kitab Kejadian Allah digambarkan dalam bentuk manusia (antropormorfisme) dan Allah digambarkan memiliki perasaan (antropopatisme). Manusia diciptakan oleh Allah, dijadikan menurut gambarNya, dan menikmati hubungan yang unik dengan-Nya. Kitab Kejadian sangat penting bagi manusia zaman sekarang untuk dapat mengerti antropologi. Kitab Kejadian yang memberitahu kepada kita bahwa Sang  Juruselamat akan terluka untuk menebus manusia dan bahwa Iblis akan dihancurkan oleh Kristus (Kej. 3:15).
Kejadian juga memperkenalkan konsepsi tentang hubungan perjanjian dengan Allah  dan umatNya. Memahami perjanjian yang unik antara Abraham dan Allah merupakan hal penting untuk memahami kitab-kitab lain dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Pokok lain yang penting dalam kitab Kejadian adalah kosmologi. Pokok kosmologi menjelaskan asal mula alam semesta serta berbagai fungsi utamanya.
F.       Garis Besar Kitab Kejadian
Kitab ini terdiri dari dua bagian, pasal 1-11 yang mengemukakan kisah awal manusia sejak dari penciptaan hingga awal kehidupan Abraham (bagian ini mencakup empat peristiwa penting kejadian, kejatuhan manusia, banjir besar dan Babel).  Pasal 12-50 yang menuliskan pemanggilan Abraham sampai kepada bangsa Israel (ada empat tokoh penting yaitu Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf).

ASAL MULA KEHIDUPAN DAN ALAM SEMESTA(KOSMOLOGI)
(Kejadian 1:1 – 2:3)

Konteks Kesusastraan dan Struktur
Kejadian 1:1 – 2:3 memang tepat apabila menjadi bagian pembukaan dari Pentateukh. Perikop ini mengetengahkan teologi dasar yang akan mendasari pemahaman teologis selanjutnya, termasuk berkaitan dengan identitas dan panggilan bagi orang Israel.
Kesatuan dari perikop ini ditandai dengan adanya inklusio[1] pada 1:1 dengan 2:1-3. Secara kiasme[2], 1:1 dan 2:1-3 menampilkan frase yang sama namun dengan urutan terbalik: “dia menciptakan” “Tuhan” “langit dan bumi” (1:1); “langit dan bumi” (2:1) “Tuhan” (2:2) “dia menciptakan” (2:3), yang menjadikan 2:1-3 menjadi suatu penutup yang rapi bagi perikop ini.[3]
Korespondensi antara 1:1-2 dengan 2:1-3 juga dapat dilihat dari adanya multiplikasi 7 (tujuh) dari kata Ibrani.[4] Kejadian 1:1 terdiri dari 7 kata, 1:2 terdiri dari 14 kata, 2:1-3 terdiri dari 35 kata.[5] Angka tujuh juga mendominasi perikop dalam kata atau frase tertentu, seperti misalnya: kata “Tuhan” disebutkan sebanyak 35 kali, kata “bumi” disebutkan sebanyak 21 kali, kata “langit/cakrawala” sebanyak 21 kali, frase “Allah melihat bahwa semua itu baik” muncul sebanyak 7 kali.[6] Dominasi angkat tujuh ini adalah untuk memberikan suatu tempat yang istimewa kepada hari ketujuh, yaitu Sabat.
Struktur dari narasi penciptan ini juga saling membentuk pasangan, yang dapat digambarkan sebagai berikut:[7]
A    :  hari ke-1 (terang)
B    :  hari ke-2 (cakrawala)
C    :  hari ke-3 (daratan dan tumbuh-tumbuhan)
A’   :  hari ke-4 (benda-benda penerang)
B’   :  hari ke-5 (burung dan ikan)
C’   :  hari ke-6 (binatang di darat dan manusia)
X    :  hari ke-7 (Sabat)
Perhatikan bahwa pada hari yang ketiga dan keenam masing-masing ada dua kegiatan penciptaan: menjadikan daratan (ay. 9-10), menciptakan tumbuh-tumbuhan (ay. 11-13), menciptakan binatang-binatang di darat (ay. 24-25), menciptakan manusia (ay. 26-31). Daratan yang dijadikan Tuhan adalah sebagai tempat berpijak bagi binatang di darat maupun manusia, dan tumbuh-tumbuhan yang diciptakan pada hari ke-3 adalah menjadi makanan bagi penciptaan hari ke-6. Namun demikian, dari struktur tersebut kita dapat menangkap suatu pesan teologis, penciptaan pada hari ketiga secara filosofis erat kaitannya dengan negeri, dan penciptaan hari keenam secara filosopis erat kaitannya dengan umat Allah, karena diciptakan serupa dan segambar dengan Allah. Negeri dan umat Allah adalah isi perjanjian utama Allah dengan Abraham dan keturunannya.


Tafsiran
`#r<a'(h' taeîw> ~yIm:ßV'h; taeî ~yhi_l{a/ ar"äB' tyviÞarEB.

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Merupakan ayat pembukaan dalam Kitab Kejadian. Beberapa penafsir menganggap bahwa ayat 1 tersebut merupakan anak kalimat dari ayat 2, sehingga seharusnya berbunyi: “pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi” atau seperti yang diusulkan oleh Speiser “pada waktu Allah mulai menciptakan langit dan bumi”. Implikasi dari penafsiran tersebut adalah bahwa penciptaan yang dilakukan oleh Allah hanyalah merupakan pengubahan material yang sudah ada sebelumnya, dan bukan diciptakan dari yang tidak ada menjadi ada.
            Kata kerja ar"äB' (Bärä´, “menciptakan”) mengungkapkan gagasan suatu penciptaan mutlak, atau ex nihilo penciptaan. Akar kata dari kata kerja tersebut hanya digunakan semata-mata dalam Perjanjian Lama hanya untuk kegiatan Allah; subyek untuk kata kerja tersebut tidak pernah manusia (bd. Am. 4:13; Mzm. 51:12; Yes. 65:17). Dua kata kerja lainnya yang mengambil bagian penting dalam narasi penciptaan adalah hf'’[' (`äSâ), yang berarti “mengerjakan atau menjadikan”, dan rc;y"  (yatsar), yang berarti “membentuk atau membuat”. Kata asah biasa dipertukarkan dengan kata bara (bd. Kel. 20:11; Neh. 9:6). Sedangkan kata yatsar muncul untuk pertama kalinya dalam Kejadian 2:7, ketika Allah membentuk manusia dari debu tanah.
            Oleh sebab itu, tindakan penciptaan oleh Allah yang tercermin dalam ayat 1 tidak melibatkan material yang telah ada sebelumnya; Allah yang mahatinggi dan mahakuasa menciptakan langit dan bumi dari yang tiada (bd. Yoh. 1:3; Rm. 4:17; Ibr. 11:3).
            Ayat 1 menyebutkan Allah sebagai ~yhi_l{a/ (´élöhîm), sebuah kata benda jamak maskulin yang menegaskan kuasa dan kemuliaan-Nya yang megah. Dari bentuk kata kerja maskulin ketiga tunggal nyatalah bahwa bentuk jamak dari kata benda itu tidak mencerminkan politeisme. Pada dasarnya disetujui bahwa arti kata dasar dari kata benda tersebut adalah “kuasa, kekuatan, kemuliaan”.
            Ayat tersebut mengandung pernyataan penting mengenai hakikat dan sifat khas Allah, yang membuktikan kesalahan enam ajaran sesat, yaitu:
1.      Ateisme, yaitu pandangan bahwa Allah tidak ada.
2.      Politeisme, yaitu pandangan bahwa ada banyak allah.
3.      Materialisme radikal, yaitu menganggap bahwa zat itu abadi.
4.      Panteisme, yaitu tidak ada perbedaan antara Allah dan ciptaan.
5.      Naturalisme, yaitu pandangan bahwa alam semesta ada dari proses alami.
6.      Fatalisme, yang mengajarkan bahwa di dunia ini tidak ada hal yang bersifat ilahi, yang ada hanyalah apa yang ada dalam lintasan sejarah ini.
Kata “langit dan bumi” berarti alam semesta yang kita kenal ini. Tidak ada kata dalam bahasa Ibrani untuk “alam semesta”. Kalimat tersebut menunjuk kepada totalitas. Allah menciptakan segala sesuatunya. Para penerjemah sering menerjemahkan kata Ibrani #r<a'( (´äºrec) sebagai “tanah”. Dengan menerjemahkan demikian Musa menginginkan para pembacanya untuk mengetahui bahwa Allah yang menciptakan dan dengan demikian memiliki sepenuhnya tanah (bd. Tanah Perjanjian).
Ayat 2 berbunyi, “Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya”. Keadaan bumi yang masih porak poranda telah menjadi pokok perdebatan. Pada umumnya ada dua teori mengenai hal ini, yaitu:[8]
1.      Teori Kesenjangan
Teori ini menyatakan bahwa pada waktu lampau yang kekal Allah telah menciptakan langit dan bumi yang sempurna. Bumi didiami oleh suku bangsa pra-Adam dan diperintah oleh Iblis, yang menghuni taman Eden. Iblis ingin sekali menjadi seperti Allah dan akhirnya dia memberontak (Yes. 14). Demikianlah dosa memasuki alam semesta, dan hukuman Allah menimpa dalam bentuk air bah yang pertama, dan kemudian ketika cahaya dan panas dari matahari berhenti, terjadi zaman es sedunia.
Alasan untuk teori ini yaitu:
                       i.      Kata ht'îy>h' (häytâ), yang merupakan kata kerja orang ketiga tunggal feminim, seharusnya diterjemahkan “telah menjadi”, sehingga terjemahan untuk ayat 2 tersebut adalah “bumi menjadi tanpa bentuk” atau “telah menjadi tanpa bentuk”. Jadi keadaan bumi yang kacau balau pada zaman purba bukanlah akiat langsung dari penciptaan ilahi.
                     ii.      Kata “tanpa bentuk” ‘Whto’ (töºhû) dan “kosong” Whboê (böºhû), menggambarkan keadaan yang sangat buruk, akibat hukuman ilahi dan bukan akibat ciptaan ilahi (bd. Yes. 45:18).
                   iii.      Dalam Alkitab kegelapan adalah simbol untuk kejahatan.
                   iv.      Allah menyuruh Adam agar “penuhilah” (dalam Alkitab bahasa Inggris: replenish, “memenuhi lagi”) bumi (Kej. 1:28), maka pasti bumi telah dipenuhi selama kurun waktu yang lebih awal.
Berikut ini pengamatan kritis mengenai ayat tersebut:
                       i.      Ayat kedua tidak dimulai dengan (w>) waw konsekutif, yang menunjukkan suatu narasi yang membentuk rangkaian, namun dimulai dengan kata waw yang disjungtif, yang bersifat memisahkan, yang mengajukan suatu anak kalimat sematan. Waw konsekutif berfungsi untuk menggabungkan perbuatan yang sedang berlangsung; sedangkan waw disjungtif  berfungsi menggabungkan kata-kata atau kalimat yang setara. Apabila menggunakan waw konsekutif biasanya susunan katanya adalah #r<a'ªh'yhiÛT.w:   (waTTühîhä´äºrec), dan bukannya #r<a'ªh'w>   (wühä´äºrec). Maksud dari kata waw disjungtif adalah untuk melukiskan sesuatu yang ada dalam anak kalimat yang mendahului, dan bukannya sesuatu yang terjadi sesudah itu.
Penerjemahan kata ht'îy>h' (häytâ) “telah menjadi” merupakan suatu penafsiran yang gegabah. Kenyataannya ialah, kata kerja ini dipakai untuk menggabungkan kata-kata dan kalimat-kalimat setara dalam anak kalimat sematan: Yunus “pergi ke Niniwe…Niniwe adalah sebuah kota yang mengagumkan besarnya…” (Yun. 3:3); “Ia memperlihatkan kepadaku imam besar Yosua…Ada pun Yosua mengenakan pakaian yang kotor…” (Za. 3:1-3).
                     ii.      Kata tohu tidak selalu mengacu pada sesuatu yang buruk. Misalnya, Ayub mengatakan bahwa Allah “membentangkan utara di atas kekosongan (tohu), dan menggantungkan bumi pada kehampaan” (26:7). Di banyak bagian dalam Alkitab kata ini hanya mengacu pada kepada hutan belantara atau padang gurun, tempat yang nyata sekali tidak ada kehidupan (bd. Ul. 32:10; Ayb. 6:18; 12:24; Mzm. 107:40).
                   iii.      Young mengatakan bahwa di dalam Kejadian 1 pun “kegelapan” diakui sebagai kebaikan positif  bagi manusia. Kata br<[,î (`eºreb), yang berarti “petang”, pasti meliputi suasana kegelapan, dan kegelapan itu baik bagi manusia. Mazmur 104:19-24 dengan jelas mengatakan bahwa kegelapan menurut hukum alam tidak bertautan dengan kejahatan.

                   iv.      Pembuktian yang didasarkan pada terjemahan bahasa Inggris lemah sekali. Kata kerja tersebut dalam bahasa Ibrani hanya berarti “memenuhi”, bukannya “memenuhi lagi”.
2.      Teori Tiada Kesenjangan
Pandangan ini mengatakan bahwa Kejadian 1:1-2 menggambarkan hari pertama penciptaan. Ayat 1 merupakan klausa yang berdiri sendiri yang menggambarkan penciptaan ex nihilo alam semesta “pada mulanya”, dan ayat 2 merupakan serangkaian tiga klausa sematan yang menggambarkan keadaan bumi sebelum Allah menyelesaikan karya ciptaan-Nya.
           
Menurut klausa terakhir pada ayat 2, “Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air”. Konteks ini rupanya mengacu kepada oknum ketiga dari ke-Allahan (bd. Ay. 26:13; Mzm. 104:30). Kata kerja yang subyeknya Roh adalah kata kerja partisip aktif, yang pada dasarnya berarti “melayang-layang di atas”, menggambarkan Roh yang melayang-layang di atas, melindungi, dan berperan serta dalam kegiatan penciptaan. Kata kerja serupa dalam Ulangan 32:11 dipakai untuk burung rajawali yang melayang-layang di atas anaknya.
Ayat ketiga dimulai dengan klausa sederhana, “Berfirmanlah Allah”, berimplikasi kepada rencana dan maksud Allah, yang menghalangi pemikiran bahwa bumi terjadi secara tidak sengaja. Setiap hari dari keenam hari itu dimulai dengan pengumuman ini.
Ketika Allah berfirman, Ia menghendaki terang. Hasilnya bukanlah sinar matahari karena baru diciptakan pada hari keempat (1:16). Mungkin terang tersebut berasal dari suatu sumber yang tetap di luar bumi, yang merupakan manifestasi dari kemuliaan Allah (bd. Why. 22:5). Mungkin juga Tuhan menciptakan matahari pada hari pertama, namun baru muncul pada hari keempat. Pandangan yang lainnya berpendapat bahwa Allah menciptakan matahari, bulan, bintang-bintang pada hari pertama, namun pada hari keempat Tuhan baru membagi peranan mereka secara spesifik.
Menurut ayat 5, “Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam.” Apabila pernyataan ini dirangkaikan dengan klausa terakhir dalam ayat tersebut, rupanya secara tidak langsung menunjuk kepada permulaan rotasi bumi. Klausa terakhir, “Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama,” adalah terjemahan harafiah dari suatu pernyataan yang secara sederhana mengacu kepada hari menurut astronomi yang lamanya 24 jam.
Berapa lamakah hari-hari penciptaan itu? Ada beberapa pendapat dari para sarjana modern mengenai lamanya proses penciptaan:[9]
A.    Teori Hari yang 24 Jam.
Penafsiran yang paling mudah dimengerti mengenai “hari” adalah memahaminya dari segi rotasi bumi. Setiap periode 24 jam dibagi menjadi “siang” dan “malam” (1:5). Petunjuk dari teori ini adalah penggunaan kata bilangan ~Ayð (yôm), yang memiliki arti satu hari, 24 jam. Keluaran 20:11 juga memperkuat teori ini, serta menyatakan secara tegas bahwa dalam “enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya.”
Namun demikian ada petunjuk-petunjuk dalam Kejadian pasal 1 bahwa yang dimaksudkan bukanlah hari yang lamanya 24 jam. Pertama, kita dapat melihat bahwa matahari baru diciptakan pada hari keempat (1:16), jadi bagaimana menganggap hari pertama sampai hari ketiga sebagai hari-hari menurut sistem tata surya?

Argumen kedua adalah kenyataan banyaknya kegiatan yang terjadi pada hari keenam, yaitu Allah menciptakan segala binatang, Allah menciptakan Adam dan menyuruh dia mengusahakan dan memelihara taman Eden, menyuruh Adam memberi nama seluruh binatang dan burung, dan ketika melakukan itu Adam menyadari bahwa tidak ada penolong yang sepadan dengan dia. Untuk mengubah kesepian tersebut, Allah membuat Adam tertidur dengan nyenyak, dan kemudian mengambil salah satu dari tulang rusuknya, dan dari tulang rusuk itulah Hawa dijadikan.
B.     Teori Hari-Zaman
Teori ini, disebut juga teori hari geologis, menafsirkan “hari-hari” ini secara metaforis. Penyokong teori ini berpendapat bahwa ungkapan “petang dan pagi” merupakan kiasan untuk “awal dan akhir.” Petang memberikan gambaran tentang penyelesaian pekerjaan berangsur-angsur dari tiap periode penciptaan, yang digantikan oleh pagi dengan kegiatan yang dimulai lagi. Para penganjur teori ini menunjuk kepada ayat-ayat seperti Mazmur 90:4 yang menyatakan bahwa “Di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu.” “Hari Tuhan” tampaknya meliputi suatu periode yang panjang, mungkin meliputi berjuta-juta tahun.
Para pendukung teori ini menunjuk kepada dua bukti dalam Kejadian pasal 1. Pertama, karya-karya penciptaan dalam enam hari itu tampaknya membutuhkan lebih daripada hari-hari yang lamanya 24 jam. Kedua, Ibrani 4:1-11 kelihatannya mengacu kepada hari ketujuh dalam penciptaan sebagai suatu periode yang lamanya tidak terbatas.
Kesimpulan tersebut tentu tidak dapat dibenarkan. Jika setiap hari penciptaan adalah periode yang sangat lama, bagaimanakah tanaman yang diciptakan pada hari ketiga dapat hidup jika matahari baru diciptakan pada hari keempat? Walaupun kata Ibrani untuk “hari” adalah kata yang fleksibel, adalah berlebihan jika membuat kata tersebut mengacu kepada periode-periode yang beribu-ribu atau berjuta-juta tahun lamanya.
C.    Teori Hari yang Berganti-ganti
Teori ini berpendapat bahwa hari-hari penciptaan tidak harus diartikan secara berurutan, tetapi bisa dipahami secara terpisah oleh zaman-zaman yang panjang. Jadi setiap hari menunjukkan suatu periode 24 jam yang normal. Pada saat periode itu tiba, fenomena utama yang telah diciptakan Allah sejak hari penciptaan sebelumnya, akhirnya telah terwujud.
Teori tersebut menyimpang dari arti naskah Ibrani yang sebenarnya. Tidak ada sesuatupun dalam teks yang menunjuk kepada suatu era yang terjadi sesudah “hari” itu. Selain itu, teori ini juga menganggap hari-hari itu sebagai saat-saat yang sekedar menyelesaikan penciptaan oleh Allah, sedangkan penulis Kejadian kelihatannya memaparkan baik permulaan kegiatan penciptaan maupun penyelesaian kegiatan tersebut pada setiap hari.
D.    Teori Hari Penyataan
Berpandangan bahwa Allah menyatakan kisah penciptaan kepada Musa dalam suatu penglihatan selama enam hari yang sebenarnya. Allah menyampaikan kepada hamba-Nya bagaimana Ia menjadikan dunia dalam urutan yang tidak perlu kronologis, melainkan lebih menurut topiknya dan logis.

Teori tersebut tidak dapat dibenarkan, karena tidak ada satupun bukti yang menunjukkan bahwa enam hari tersebut adalah enam hari penglihatan, sebaliknya justru menunjukkkan kegiatan penciptaan oleh Allah. Keluaran 20:11 juga dengan tegas menyampaikan bahwa “enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan segala isinya…” bukannya “enam hari lamanya Allah menyatakan ciptaan-Nya…”

            Allah tidak menciptakan gelap (ay. 3-4). Kegelapan merupakan keadaan ketiadaan terang. Orang Yahudi memperhitungkan petang sebagai awal dari hari daripada pagi (ay. 5). Allah menamai terang itu siang dan gelap itu malam. Pemberian nama dalam pandangan negeri timur dekat kuno terutama sekali berarti menjalankan hak seorang raja (bd. 2 Raj. 23:24; 24:17). Dengan demikian pemberian nama untuk ciptaan ini dan untuk seluruh karya cipta berikutnya mengungkapkan secara jelas hak Allah sebagai Tuhan atas segenap makhluk.
            Pada hari kedua (ay. 6), kegiatan Allah pada saat penciptaan adalah membagi secara horizontal kumpulan air, tempat bumi terletak. Sekelompok air tergantung di atas “cakarawala” ([;yqir') dan sekelompok air lagi menutupi bumi sama sekali di bawah cakrawala itu. Cakrawala adalah “permukaan yang luas.” Konon orang Yahudi menganggap cakrawala, “kolong langit,…seperti zat padat, dan menyangga air yang ada di atasnya.” Allah menempatkan matahari, bulan, dan bintang-bintang pada cakrawala (ay. 16-17).
            Hari ketiga Allah menciptakan darat, tumbuh-tumbuhan, dan laut (ay. 9-13). Atas perintah Tuhan segala air berkumpul dan daratan teratur membentuk benua-benua, atau secara harfiah “tanah yang kering” (hv'B'y:). Sedangkan ungkapan ~yMi_y: (laut) dipakai untuk arti yang sangat luas untuk mencakup setiap kumpulan air, bahkan danau dan sungai di pedalaman.
            Ketika pekerjaan itu sudah selesai, Allah menyebutnya “baik” (bAj), yang berarti kesempurnaan estetis, yaitu menunjuk kesempurnaan kesetiaan kreatif Allah, dan tentang baiknya maksud penciptaan itu, kesempurnaan baik karena kudus.
            Allah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji. Allah menciptakan tumbuh-tumbuhan yang telah dewasa dan siap menjalankan perannya. Ciptaan yang mula-mula memiliki penampilan sebagai tanaman yang sudah cukup umur, dan mampu menghasilkan biji-bijian.
            Pada hari keempat (ay. 14-19) Allah menciptakan benda-benda penerang di cakrawala. Narasi ini memberikan kesan bahwa benda-benda penerang tersebut bersifat subordinat dengan bumi, sebagai pelayan dari bumi. Perspektif penulis memang lebih bersifat geosentris dibandingkan dengan bersifat heliosentris. Maksud benda-benda penerang itu adalah:[10]
1.      Untuk membedakan siang dan malam
2.      Untuk memberi tanda, baik itu yang berkenaan dengan iman (Mzm. 8, 19; Rm. 1:14-20), tanda cuaca (Mat. 16:2,3), nubuat (Mat. 2:2; Luk. 21:25), dan penghakiman (Yl. 2:30, 31; Mat. 24:29).
3.      Untuk membedakan musim
Pada hari kelima Allah menciptakan binatang laut dan burung (ay. 20-23). Kehidupan air dan unggas yang muncul secara serempak mematahkan teori evousioner bahwa binatang melata muncul sebelum burung. “Binatang laut yang besar” (~yli_doG>h;) mencakup ikan-ikan besar termasuk di dalamnya terdapat ikan paus. Di tempat lain istilah itu juga digunakan untuk melukiskan ular (Kel. 7:9, 10, 12), naga (Yes. 51:9), buaya besar (Yeh. 29:3), dan ular naga (Mzm. 148:7). Para penulis Perjanjian Lama mengambil pelukisan kepercayaan kafir mengenai makhluk-makhluk tersebut, namun tidak mengikuti teologinya.
Hari keenam (ay. 24, 25) Allah memerintahkan bumi supaya mengeluarkan (ace’AT), atau menyebabkan muncul, makhluk hidup (hY"x; vp,n<Ü). Dalam hal ini rupanya Allah menggunakan bahan anorganik untuk menciptakan binatang di bumi.
Allah membentuk (rc;y") manusia. Kata rc;y" berarti membentuk atau mencetak suatu bahan khusus. Allah membentuk manusia dari debu (rp'[') dari tanah (hm'd'a]). Debu ini berarti segumpal tanah lembab yang terbaik. Setelah membentuk tubuh manusia Allah menghembuskan “nafas hidup ke dalam hidungnya.” Baru setelah itu tubuh itu menjadi “makhluk yang hidup” (hY")x; vp,n<). Namun istilah “makhluk yang hidup” juga mengacu kepada binatang-binatang laut (Kej. 1:20-21) dan segala jenis binatang darat (Kej. 1:24). Hal unik yang terdapat pada manusia adalah “gambar dan rupa” Allah yang terdapat dalam dirinya (Kej. 1:26-27).
Dalam Kejadian 1:26-27 dijelaskan mengenai identitas pencipta manusia. Kata ganti orang pertama jamak, Kita, yang dipakai oleh Allah, dari segi gramatikal dan sintaksis Ibrani berarti bentuk jamak dari kekuasaan tertinggi, menekankan pada kesempurnaan kuasa dan hakikat ilahi yang Ia miliki.
Manusia diciptakan menurut “gambar” (~l,c,) dan “rupa” (tWmD>) Allah. Kedua kata tersebut adalah identik. Kedua istilah tersebut mengacu kepada sifat-sifat rohani yang sama-sama dimiliki oleh Allah dan manusia. Citra dan rupa inilah yang menjadikan manusia berbeda sama sekali dengan binatang. Manusia saja yang memiliki kemampuan untuk sadar akan dirinya sendiri, berbicara, dan kearifan moral.
Setelah manusia diciptakan, Allah memberkati mereka (Kej. 1:28) dengan perintah untuk beranak cucu, memenuhi bumi dan menaklukkannya. Perintah untuk beranak cucu dan bertambah banyak bukan semata-mata pertambahan secara individu, melainkan pertambahan ras manusia. Perintah ini secara inplisit berkaitan dengan kehendak Tuhan untuk memenuhi bumi.
Manusia juga diberi kekuasaan untuk “menaklukkan” bumi. Istilah menaklukkan secara tidak langsung mengandung arti setingkat kedaulatan, pengawasan, dan pimpinan atas alam. Panggilan ini adalah karana manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah.
Perdebatan Seputar Asal Usul Manusia[11]
Asal usul manusia telah menjadi bahan perdebatan selama ini. Dalam dunia ilmu pengetahuan dikenal adanya teori Evolusi yang menyatakan bahwa semua organisme hidup timbul dari satu sel hidup yang sederhana. Demikianlah manusia dianggap tidaklah merupakan ciptaan Tuhan secara khusus, namun sebagai bagian dari perkembangan proses evolusioner.

Pandangan dari teori evolusi tersebut telah menimbulkan perdebatan dan penolakan dari kalangan kekristenan, dengan mendasarkan pada penciptaan dalam Kejadian. Namun demikian, beberapa kalangan kristen berusaha untuk menyelasarkan teori evolusi dengan fakta penciptaan dalam Kitab Kejadian.
Dalam kaitan dengan hal tersebut muncullah teori Evolusi Teistik. Teori ini mengatakan bahwa Allah telah memerintah dan mengatur proses evolusioner. Boleh jadi secara langsung Ia telah mengadakan bentuk-bentuk kehidupan yang pertama, tetapi selebihnya Ia hanya mengawasi proses evolusi tersebut. Lebih tepat Allah yang memerintah dan mengarahkan suatu proses penciptaan, dan bukannya melaksanakan serangkaian tindakan penciptaan. Orang-orang yang menganut teori evolusi teistik ini menafsirkan pasal-pasal awal Kejadian secara kiasan. Kitab Kejadian hanya memberikan penjelasan yang umum mengenai permulaan segala sesuatu, sehingga proses evolusi mendapat tempat di dalamnya.
Beberapa sarjana mengatakan bahwa evolusi sudah berakhir sebelum Adam tampil sebagai ciptaan khusus Allah. Sarjana-sarjana lain percaya bahwa bagian fisik manusia berkembang dari ordo-ordo binatang yang lebih tinggi, tetapi pada saat tertentu, Allah mengaruniakan jiwa kepada makhluk ini lalu membubuh gambar-Nya sendiri padanya.
Kejadian 2:7 secara khusus mengatakan bahwa “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah.” Di manapun “debu” tidak pernah berarti “binatang” atau makhluk mirip manusia. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Allah menjadikan dunia dan segala bentuk kehidupan dalam kurun waktu yang relatif singkat, melalui serangkaian tindakan adikodrati.
Pertanyaan lain yang berkaitan dengan asal-usul manusia adalah berapa usia manusia sebenarnya sejak penciptaan manusia yang pertama? Menurut analisis para antropolog, yang mendasarkan pada penelititan fosil-fosil yang mirip manusia, bahwa manusia sudah ada paling tidak sejak 40.000 sampai 50.000 tahun yang lalu. Sejumlah teolog berpendapat bahwa Adam dan Hawa ada setelah manusia-manusia primitif tersebut, berdasarkan teori kesenjangan. Di pihak lain berpendapat bahwa karena kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa, maka menyebabkan kemerosotan peradapan dan tingkat kebudayaan selama beberapa milenium kemudian, bersamaan dengan memburuknya status rohani. Hukuman Allah dalam air bah adalah untuk membinasakan manusia yang sudah berada dalam kemerosotan moralnya, dan pada saat yang sama mengakhiri semua hal yang telah mereka capai dalam bidang kebudayaan.
Silsilah-silsilah yang terdapat dalam Kejadian pasal 5 dan 11 adalah yang biasanya dipakai oleh sarjana Alkitab untuk menghitung usia manusia. Namun demikian dapatkah silsilah tersebut benar-benar dapat menentukan usia manusia secara tepat? Ketika Alkitab berkata bahwa Set memperanakkan Enos (Kej. 5:6), itu dapat berarti Set adalah ayah atau nenek moyang Enos, dan sangat sulit untuk menetapkan yang mana yang dimaksud. Dalam hal Adam dan Lamekh, orang dapat mengemukakan bahwa Set dan Nuh adalah anak secara harfiah, sebagian karena pemberian nama kepada anak itu disebutkan (Kej. 5:3, 29). Kombinasi silsilah yang berkesinambungan dengan yang berputus-putus juga dapat ditemukan pada materi di luar Alkitab, seperti Daftar Raja Abydos di Mesir dan pada Daftar Raja Sumer di Mesopotamia.
Bagian dari dasar pemikiran untuk mencantumkan silsilah yang selektif terdapat dalam pola simetris yang termuat dalam pasal 5 dan pasal 11. Pasal 5 mendaftarkan sepuluh nama dari Adam hingga Nuh, dan pasal 11 mencatat sepuluh generasi dari Sem hingga Abram. Struktur ini juga terlihat dalam Matius 1, yang membagi silsilah Kristus menjadi empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus.

Mengingat bahwa silsilah dalam Kejadian 5 dan 11 bersifat selektif, dapatkah kedua pasal tersebut memeberi penjelasan tentang usia manusia? Beberapa penafsir mengatakan bahwa tidak ada batasan sama sekali, dan seandainya usia manusia sudah mencapai jutaan tahun tidak akan bertentangan dengan Kitab Kejadian.
 Penafsir yang lain memprotes bahwa hal merenggangkan silsilah seperti itu akan sama sekali memutar balikkan catatan Alkitab. Adakah ratusan bahkan ribuan nama yang tidak tercantum dalam daftar silsilah itu?
Teologi
Perikop ini merupakan suatu permulaan yang tepat bagi keseluruhan Pentateukh. Di dalamnya telah merangkumkan pemahaman dasar teologis yang harus dipahami oleh orang Israel. Perikop ini memperkenalkan identitas Allah yang telah memanggil orang Israel keluar dari tanah perbudakan. Ia adalah Allah yang berdaulat dan berkuasa, yang menciptakan alam semesta seisinya dari yang tidak ada menjadi ada. Hal tersebut memberikan suatu pemahaman bahwa orang Israel tidak perlu ragu untuk mempercayai-Nya sebagai yang sanggup membebaskan mereka dari perbudakan dan membawa mereka ke tanah perjanjian.
Narasi ini juga mengetengahkan siapakah umat Allah itu, yaitu mereka yang diciptakan serupa dan segambar dengan-Nya. Mereka diberikan kekuasaan untuk memilik negeri yang dijanjikan Tuhan dan berkuasa atas segala sesuatu yang ada di dalamnya.





























[1] Inklusio adalah kata, frase, kalimat, atau gagasan dari ayat yang pertama diulang kembali pada ayat yang terakhir.
[2] Kiasme adalah pola menyilang.
[3] Gordon J. Wenham, Word Biblical Commentary  Volume 1 Genesis 1-15 (Dallas: Word Books, Publisher, 1987).
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] John J. Davis, Eksposisi Kitab Kejadian (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm.41-47)
[9] Ibid., hlm. 52-58.
[10] Ibid., hlm. 66-67.
[11] Ibid., hlm. 76-82.

Posting Komentar untuk "PENGANTAR KITAB KEJADIAN"